KUALITAS PERAIRAN PESISIR
1. PENDAHULUAN
Ekosistem perairan pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam berbagai kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan di Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber daya alam yang telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani. Dahuri (2002), meyatakan bahwa secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan pesisir, transportasi dan pelabuhan, pertambangan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah.
Selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktifitas manusia di wilayah pesisir menyebabkan daerah ini merupakan wilayah yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan pesisir, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah.
Pengkajian kualitas perairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan analisis fisika dan kimia air serta analisis biologi. Untuk perairan yang dinamis, analisa fisika dan kimia air kurang memberikan gambaran sesungguhnya kualitas perairan, dan dapat memberikan penyimpangan-penyimpangan yang kurang menguntungkan, karena kisaran nilai-nilai peubahnya sangat dipengaruhi keadaaan sesaat. Bourdeau and Tresshow (1978) dalam Butler (1978) menyatakan bahwa dalam lingkungan yang dinamis, analisis biologi khususnya analisis struktur komunitas hewan bentos, dapat memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas perairan.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978). Diantara hewan bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Rosenberg dan Resh, 1993).
Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et all. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar ((Allard and Moreau, 1987); APHA, 1992).
Makalah ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan, khususnya pada wilayah pesisir. Adapun hal-hal yang dikemukakan meliputi pengertian makrozoobentos, faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos, pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan pesisir, dan spesies indikator
II. MAKROZOOBENTOS
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang (Kendeigh, 1980; Odum 1993; Rosenberg dan Resh, 1993). Hewan ini memegang beberapa peran penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan (Lind, 1985), serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Odum, 1993).
Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan.
Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula yang berperan sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami bagi ikan-ikan pemakan di dasar ("bottom feeder") (Pennak, 1978; Tudorancea, Green dan Hubner, 1978).
Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat digolongkan ke dalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 - 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum. APHA (1992) menyatakan bahwa makrozoobentos dapat ditahan dengan saringan No. 30 Standar Amerika. Selanjutnya Slack et all. (1973) dalam Rosenberg and Resh (1993) menyatakan bahwa makrozoobentos merupakan organisme yang tertahan pada saringan yang berukuran besar dan sama dengan 200 sampai 500 mikrometer.
Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.
Organisme yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida (Cummins, 1975). Taksa-taksa tersebut mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam komunitas perairan karena sebagian dari padanya menempati tingkatan trofik kedua ataupun ketiga. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai peranan yang penting di dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan-bahan organik, baik yang berasal dari perairan maupun dari daratan (Janto et all., 1981 dalam Nurifdinsyah, 1993).
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan. Setiap komunitas memberikan respon terhadap perubahan kualitas habitat dengan cara penyesuaian diri pada struktur komunitas. Dalam lingkungan yang relatif stabil, komposisi dan kelimpahan makrozoobentos relatif tetap (APHA, 1992).
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Berdasarkan teori Shelford (Odum, 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit.
III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERADAAAN MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN PESISIR
Struktur komunitas zoobentos dipengaruhi berbagai faktor lingkungan abiotik dan biotik. Secara abiotik, faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos adalah faktor fisika-kimia lingkungan perairan, diantaranya; penetrasi cahaya yang berpengaruh terhadap suhu air; substrat dasar; kandungan unsur kimia seperti oksigen terlarut dan kandungan ion hidrogen (pH), dan nutrien. Sedangkan secara biologis, diantaranya interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas (Tudorancea et all. 1979). Secara skematis, Hawkes (1978) mengemukakan 14 faktor yang mempengaruhi keberadaan hewan bentos di perairan (Gambar 1), sembilan diantaranya merupakan faktor penentu kualitas perairan.
kekeruhan
Penetrasi cahaya
kedalaman
Padatan tersuspensi *)
nutrien
Oksigen terlarut *)
Temperatur *)
Kecepatan arus
substrat
pH *)
KOMUNITAS BENTOS
Kesadahan*)
Bahan beracun
Sinar matahari
Kanalisasi
*)
Keterangan : = Faktor penentu kriteria kualitas air
= Faktor bukan penentu kualitas air
* = Faktor yang tidak umum
= Pengaruh langsung
= Pengaruh interaksi
Gambar 1. Faktor-faktor kualitas air (sifat fisika kimia) yang mempengaruhi komunitas bentos (Hawkes, 1978)
Cahaya matahari merupakan sumber panas yang utama di perairan, karena cahaya matahari yang diserap oleh badan air akan menghasilkan panas di perairan (Odum, 1993). Di perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, karena itu suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembangbiakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan organisme perairan.
Klein (1972) dalam Yusuf (1994), menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3, dan NH3N terhadap hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik. Sumber utama senyawa ini berasal dari sampah dan limbah yang mengandung bahan organik protein.
Oksigen terlarut sangat penting bagi pernafasan zoobentos dan organisme-organisme akuatik lainnya (Odum, 1993). Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh faktor suhu, pada suhu tinggi kelarutan oksigen rendah dan pada suhu rendah kelarutan oksigen tinggi. Tiap-tiap spesies biota akuatik mempunyai kisaran toleransi yang berbeda-beda terhadap konsentrasi oksigen terlarut di suatu perairan. Spesies yang mempunyai kisaran toleransi lebar terhadap oksigen penyebarannya luas dan spesies yang mempunyai kisaran toleransi sempit hanya terdapat di tempat-tempat tertentu saja. Berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO), Lee et al. (1978) mengelompokkan kualitas perairan atas empat yaitu; tidak tercemar (> 6,5 mg/l), tercemar ringan (4,5 – 6,5 mg/l), tercemar sedang (2,0 – 4,4 mg/l) dan tercemar berat (< 2,0 mg/l).
Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi organisme air terhadap pH bervariasi. Hal ini tergantung, pada suhu air, oksigen terlarut dan adanya berbagai anion dan kation serta jenis dan stadium organisme.
Kehadiran spesies dalam suatu komunitas zoobentos didukung oleh kandungan organik yang tinggi, akan tetapi belum tentu menjamin kelimpahan zoobentos tersebut, karena tipe substratpun ikut menentukan (Welch, 1952; Santos dan Umaly, 1989 dalam Izmiarti, 1990; Lowe and Thompson, 1997).
Tipe substrat dasar perairan pesisir ditentukan oleh arus dan gelombang. Disamping itu juga oleh kelandaian (slope) pantai. Menurut Sumich (1992), Nybakken (1997) dan Barnes and Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir, dan berbatu. Pada daerah pesisir dengan kecepatan arus dan gelombang yang lemah, subtrat cenderung berlumpur. Daerah ini biasa terdapat di daerah muara sungai, teluk atau pantai terbuka dengan kelandaian yang rendah. Sedangkan pada daerah pesisir yang mempunyai arus dan gelombang yang kuat disertai dengan pantai yang curam, maka substrat cenderung berpasir sampai berbatu.
Substrat lumpur, merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun, berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap di dataran lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan alat pernafasan.
Bentos yang dominan hidup di daerah substrat berlumpur tergolong dalam “suspended feeder”. Diantara yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalva, Crustaceae, Echinodermata dan Bakteri. Disamping itu juga ditemukan gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos.
Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1-10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 – 1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan adalah kelompok suspended feeder dan karnivor. Organisme yang dominan adalah polychaeta, bivalva dan crustacea.
Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan termasuk kelompok herbivora, scavenger, suspended feeder dan predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna, seperti gastropoda, crustacea, bivalva dan echinodermata.
Kedalaman air mempengaruhi kelimpahan dan distribusi zoobentos. Dasar perairan yang kedalaman airnya berbeda akan dihuni oleh makrozoobentos yang berbeda pula, sehingga terjadi stratifikasi komunitas menurut kedalaman. Pada perairan yang lebih dalam makrozoobentos mendapat tekanan fisiologis dan hidrostatis yang lebih besar. Karena itu makrozoobentos yang hidup di perairan yang dalam ini tidak banyak. Berdasarkan kedalaman laut Wright (1984), mengelompokkan keberadaan hewan bentos dibagi atas tiga zone yaitu (1) zona intertidal (intertidal zone), (2) zona paparan benua (continental shelf) dan (3) zona laut dalam (deep sea).
Faktor fisika kimia lain yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberadaan makrozoobentos di perairan pesisir adalah salinitas dan keterbukaan wilayah pesisir selama pasang surut serta buangan limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksin) maupun logam berat.
Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu. Pada saat pasang turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal organisme. Disamping itu, bentos juga dapat mati disebabkan oleh kehabisan air. Disisi lain, adanya genangan pasang-surut, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak.
Buangan limbah, baik yang mengandung senyawa-senyawa beracun (toksit) maupun logam berat, merupakan faktor lain yang juga mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan pesisir. Bahan-bahan ini berasal dari daerah aliran sungai maupun areal pemukiman – kota dipinggiran pantai serta kawasan atau industri yang membuang limbah ke laut.
Eisherth (1990) mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu : (1) pencemaran limbah industri (industrial pollution) seperti industri pulp, kertas, pengolahan makanan dan industri farmasi-kimia, (2) pencemaran sampah/limbah domestik (sewage pollution) yang umumnya mengandung bahan organik, (3) pencemaran karena sedimentasi (sedimentation pollution) akibat adanya erosi di daerah hulu sungai, dan (4) pencemaran oleh aktifitas pertanian (agriculture pollution) yakni dengan adanya penggunaan pestisida.
IV. MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN PESISIR
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik. Metode ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis (Ma-gurran, 1988).
Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.
Indeks keragaman jenis (H') menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah Indeks keragaman Shannon - Wiener.
Perbandingan antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman populasi, yang disimbulkan dengan huruf E. Nilai E ini berki-sar antara 0 - 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi suatu spesies digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar. Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga. Staub et all. dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat (0
Pengembangan metode indeks diversitas dilakukan oleh Warent (1971) dan May (1975) dalam Magurran (1988), yaitu menggunakan model distribusi kelimpahan jenis. Model distribusi kelimpahan jenis ini pada dasarnya menggunakan parameter yang sama namun dalam perhitungannya lebih bervariasi misalnya rangking spesies, kelimpahan observasi, kelimpahan teoritis, dan uji kesesuaian model, sehingga model ini lebih mendekati keadaan perairan sesungguhnya.
Model distribusi kelimpahan spesies dapat menerangkan mekanisme pem-bagian dan pemanfaatan sumber daya dalam komunitas (Magurran, 1988). Model-model tersebut adalah: Model Geometrik, Model Log Normal dan Model Broken Stick. Model Geometrik menggambarkan keadaan ekosistem perairan dimana organisasi komunitas bersifat kompetitif dan mengalami gangguan, produktifitas rendah, pembagian sumber daya dalam komunitas tidak merata (Southwood, 1978) dan dalam tingkat suksesi awal atau lingkungan sangat terganggu (Magurran, 1988). Model Log normal menggambarkan organisasi komunitas yang layak, pembagian relung yang mantap atau merata, lingkungan perairan yang stabil sehingga mencirikan suatu komunitas yang seimbang. Model Broken Stick menggambarkan suatu komunitas yang stabil dan tidak ada kompetisi, pembagian relung mengacak tanpa tumpang tindih dan lingkungan sangat stabil dan produktif (Southwood, 1978).
Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan struktur komunitas makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi. Analisa lebih detail dapat dilakukan dengan “principle components analysis”. Dari gambaran ini diharapkan dapat diungkapkan jenis-jenis makrozoobentos yang diduga dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan serta faktor fisika kimia apa saja yang terutama mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut.
Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator adalah: a). mudah diidentifikasi, b). tersebar secara kosmopolit, c). kelimpahan dapat dihitung, d). Variabilitas ekologi dan genetik rendah, e). ukuran tubuh relatif besar, f). mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama, g). karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h). terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta i). cocok untuk digunakan pada studi laboratorium. Rondo (1982) mengemukakan bahwa suatu takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus ekslusif dengan fekuensi kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi kehadiran 50%, dan predominan. Suatu takson dikatakan predominan ji-ka kepadatan relatifnya minimal 10%.
Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia (Hynes, 1978). Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan Resh, 1993). Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).
V. SPESIES INDIKATOR
Keberadaan spesies tertentu, khususnya jika kelimpahannya cukup memadai, menunjukkan bahwa tuntutan lingkungan terpenuhi. Walaupun demikian ketidak beradaannya tidak harus menunjukan hal yang sebaliknya, contoh satu spesies bisa secara kompetitif terpisah dari suatu habitat tertentu, karena spesies yang lain. Namun dalam batasan tertentu, keberadaan dan ketiadaan kelimpahan relatif dari spesies bisa dipakai sebagai indikator kualitas lingkungan. Perubahan-perubahan dalam keberadaan, ketiadakberadaan kelimpahan (apakah terjadi secara mendadak atau berangsur-angsur), bisa mengimplikasikan suatu perubahan yang sebanding dalam kondisi-kondisi lingkungan.
Secara ideal, semua anggota dari sebuah komunitas haruslah dipandang sebagai indikator potensial akan kualitas air dan dicantumkan dalam peragaan monitoring biologis. Dalam prakteknya, kelompok-kelompok seperti : bakteri, alga, protozoa dan mikroinvertebrata butuh metode penyampelan yang berbeda dan perlu keahlian taksonomis yang baik. Kelompok yang umumnya dikerahkan sebagai indikator adalah fauna makroinvertebrata (makrozoobentos). Mereka punya banyak karakteristik yang diminta, dari organisme indikator (Abel, 1989).
Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator Tesky (2002). EPA (2002) menyatakan bahwa sebagaimana di sistem perairan tawar, biota yang hidup di perairan estuaria dan laut dapat menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos (seperti polychaeta) merupakan indikator yang baik untuk kualitas air lingkungan laut karena respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air tawar. Polychaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan (seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka digunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan.
Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman. (2002) berdasarkan kualitas perairan, khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator sebagai berikut:
A. Indikator untuk perairan yang berkualitas baik
1. Kelas Serangga
Stonefly Nymphs (Order Plecoptera)
Common Stonefly Nymph (Family Perlidae)
Roach-like Stonefly Nymph (Family Peltoperlidae)
Slender Winter Stonefly Nymph (Family Capniidae)
Mayfly Nymphs (Order Ephemeroptera)
Brush-Legged Mayfly Nymph (Family Oligoneuridae)
Flatheaded Mayfly Nymph (Family Heptageniidae)
Burrowing Mayfly Nymph (Family Ephemeridae)
Caddisfly Larvae (Order Trichoptera)
Net-Spinning Caddis Larva (Family Hydropsychidae)
Fingernet Caddis Larva (Family Philopotamidae)
Case-Making Caddis Larva (various families)
Free-living Caddis Larva (Family Ryacophilidae)
Dobsonfly (Order Megaloptera, Family Corydalidae)
Water Penny (Order Coleoptera, Family Psephenidae)
Riffle Beetle (Order Coleoptera, Family Elmidae)
2. Kelas lain
Gilled Snail (Order Gastropoda, Family Viviparidae)
B. Indikator untuk perairan berkualitas sedang (moderat)
1. Kelas Seranga
Dragonfly Nymph (Order Odonata, Suborder Anisoptera)
Damselfly Nymph (Order Odonata, Suborder Zygoptera)
Watersnipe Fly Larva (Order Diptera, Family Athericidae)
Alderfly Larvae (Order Megaloptera, Family Sialidae)
Cranefly Larvae (Order Diptera, Family Tipulidae)
Beetle Larvae (Order Coleoptera)
Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae)
Predaceous Diving Beetle Larva (Family Dytiscidae)
Crawling Water Beetle Larva (Family Haliplidae)
2. Kelas lain
Scuds (Order Amphipoda, Family Gammaridae)
Sowbugs (Order Isopoda, Family Asellidae)
Crayfish (Order Decapoda, Family Cambaridae)
C. Indikator untuk perairan berkualitas buruk
1. Kelas Serangga
Midge Larva (Order Diptera, Family Chironomidae)
Blackfly Larva (Order Diptera, Family Simulidae)
2. Kelas lain
Pouch Snail (Order Gastropoda, Family Physidae)
Planorbid Snail (Order Gastropoda, Family Planorbidae)
Leech (Class Hirudinea)
Aquatic Worm (Class Oligochaeta)
Adapun untuk perairan pesisir, belum begitu banyak terungkap spesies-spesies yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan, kecuali beberapa informasi tentang keberadaan polychaeta dan beberapa kelompok dari molluska yang menunjukkan kondisi perairan yang berada dalam keadaan kandungan oksigen yang rendah, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah.
VI. PENUTUP
Sebagai organisme yang hidupnya cenderung menetap di dasar perairan, maka pemanfaatan makrozoobentos untuk mengetahui kualitas perairan, akan dapat memberikan gambaran kondisi perairan yang lebih tepat. Namun dalam hal ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya proses pengambilan makrozoobentos dan pengidentifikasian.
Penentuan kualitas perairan dengan menggunakan makrozoobentos dapat dilakukan dengan menghitung tingkat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi serta dengan menggunakan model-model kelimpahan. Adapun untuk melihat keterkaitannya dengan faktor fisika-kimia perairan dapat dilakukan dengan pengujian secara regresi atau melalui analisa komponen utama.
Beberapa penelitian telah mengungkapkan beberapa spesies makrozoobentos yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan, namun untuk kajian di wilayah pesisir informasi tentang ini masih terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abel, P. 1989. Water Pollution Biology. Department of Biology. Sunderland Polytechnic. Ellis Horwood limited. England.
Allard, M. and G. Moreau. 1987. Effect of Experimental Acidification on Lotic Macroinvertebrate Community. Hydrobiologia 144 : 37- 49
APHA. 1992. Standart Methods for the Examination of Water and Waste Water. 18th edition. Washington.
Barnes, R. S. K. and R. N. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology 3rd Edition. Blackwell Science Ltd. London.
Butler, G. C. 1978. Principles of Ecotoxicology Scope 12. John Willey & Sons. New York.
Cummins, K. W. 1975. Fishes dalam Whitton B. A. (ed.). River Ecology. Black-well Scient Publ. Oxford.
Dahuri, R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia melalui Sektor Perikanan dan Kelautan. LISPI. Jakarta.
Eishert, M. E. 1990. Integrated Environmental Mangement and Land-Based Marin e Pollution. Tropical Area Coastel Management. ICLARM. Manila
Hawkes, H. A. 1978. Invertebrates as Indicators of River Water Quality dalam A. James dan L. Evison (Ed.) Biological Indicator of Water Quality. John Willey & Sons. Toronto.
Hynes, H. B. N. 1978. The Ecology Of Running Waters. University Press. Liver-pool.
Kendeigh, S. C. 1980. Ecology with Special Reference to Animal and Man. Pren-tice Hall of India. Private Limited. New Delhi.
Lee, C. D., S. B. Wang and C. L. Kuo. 1978. Benthic Macroinvertebrate and Fish as Biological Indicators of Water Quality, with Reference to Communinty Diversity Index. dalam E.A.R. Guano. B.N. Lokani and M.C. Thank (Ed.). Water Pollution Control in Developing Countries. Asian Inst. Tech. Bang-kok. P: 233-238.
Lind, O. T. 1985. Handbook of Common Methods in Limnology. CV. Mosby. St. Louis.
Lowe, S., and B. Thompson. 1997. Identifying Benthic Indicators for San Francisco Bay. http://www.sfei.org/rmp/1997C0403.htm (dk. 23 Mei 2002).
Magurran, A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton Uni-versity Press. Princeton New Jersey.
Montagna, P. A., J. E. Bauer, D. Hardin and R. B., Spies. 1989. Vertical Distribution of Microbial and Meiofaunal Populations in Sediments of Natural Coastal Hydrocarbon Seep. Journal of Marine Science.
Nurifdinsyah, J. 1993. Studi kualitas Sungai Cikaranggelam menggunakan Mak-rozoobentos sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan Perairan. Tesis S2. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Nybakken, J. W. 1997. Marine Biology An Ecological Approach. 4th. edition An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc. New York.
Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Yogayakarta. Gajah Mada University press.
Pennak, R. W. 1978. Freshwater invertebrates of the United States. 2nd. ed. A Willey Interscience Publ. John Willey and Sons. New York.
Oey, B. L., R. E. Soeriaatmadja, W. Parjatmo. 1978. Faktor lingkungan Penentu dalam Ekosistem Sungai. Seminar Pengendalian Pencemaran Air Dirjen. Pengairan Dept. PU-RI. Bandung.
Pennak, R. W. 1978. Freshwater invertebrates of the United States. 2nd. ed. A Willey Interscience Publ. John Willey and Sons. New York.
Yusuf, Muh., 1994. Dampak Pencemaran Perairan Pantai terhadap Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Kualitas Lingkungan Perairan di Laguna Pulau Tirangcawang Semarang. Tesis S2 Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (Tidak dipub-likasikan).
Rosenberg, D. M. and V. H. Resh. 1993. Freshwater Biomonitoring and Benthic Macroinvertebrates. Chapman and Hall. New York. London.
Southwood, T. R. E. 1978. Ecological Methods with Particular Reference to the Study of Insect Population. Chapman and Hall. New York.
Sumich, J. L., 1992. An Introduction to the Biology of Marine Life. 5th edition. Wm. S. Brown Publishers. Dubuque.
Tesky, D. 2001. Biological Indicators http://www.suite101.com/article.cfm/ecology/57858 (dk. 23 Mei 2002).
Tudorancea, C.; R. H. Green and J. Huebner. 1978. Structure Dynamics and Pro-duction of the Benthic Fauna in Lake Manitoba. Hydrobiologia 64 (1); 59-95.
US Environmental Protection Agency. 2002. Marine/Tidal bioindicators
http://www.epa.gov/bioindicators/html/marinetidal.html (dk. 25 Mei 2002)
http://www.epa.gov/ceisweb1/ceishome/atlas/bioindicators/htm (dk 25 Mei 2002)
Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman. 2002. An Introduction to Benthic Macroinvertebrates http://osf1.gmu.edu/~avia/about.htm (dk 25 Mei 2002)
Warrent, E. C. 1971. Biology and Water Pollution Control. W.B. Saunders Company. London.
Welch, C. 1980. Limnology. McGraw-Hill Book Company Inc. New York.
Wilhm, J. F. 1975. Biological Indicators of Pollution. dalam Whitton B.A. (ed). River Ecology. Blackwell Scient Publ. Oxford.
Wright, J. B. (ed). 1984. Oceanography; Unit 10 The Benthic System. The Open University. Great Britain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar